Rasa was-was seringkali mengganggu aktifitas ibadah yang sedang dijalani seseorang, terutama saat berwudhu` maupun shalat. Sering kita jumpai ketika seorang mushalli hendak melakukan takbiratul ihram diulang-ulanginya berkali-kali, sehingga mengganggu konsentrasi ibadah yang dikerjakannya, dan parahnya lagi sampai mengganggu orang-orang di sekitarnya. Was-was menurut pengertiannya, sebagaimana Al-Qurthubi menyebutkan[1] ialah;
اَلْوَسْوَسَةُ: حَدِيْثُ النَّفْسِ بِمَنْزِلَةِ الْكَلَامِ الْخَفِيِّ.
“Was-was adalah; berbicara sendiri dengan kata-kata yang tersembunyi (dalam hati).”

Sedangkan menurut definisi Al-Mawardi[2] ialah;
اَلْوَسْوَسَةُ: كَثْرَةُ حَدِيْثِ النَّفْسِ بِمَا لَا يَتَحَصَّلَ فِي حِفَاءٍ وَ إِسْرَارٍ.
“Was-was adalah; banyak berbicara sendiri tentang sesuatu yang tidak sedang terjadi, (yang dilakukan) secara rahasia dan tersembunyi.”
Di dalam Al-Qur`an ada beberapa kali disebutkan ayat tentang was-was, yang di antaranya ialah;
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥ ۖ وَنَحۡنُ أَقۡرَبُ إِلَيۡهِ مِنۡ حَبۡلِ ٱلۡوَرِيدِ
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qs. Qaf [50]: 16), dan ayat;
ٱلَّذِي يُوَسۡوِسُ فِي صُدُورِ ٱلنَّاسِ
“yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,” (Qs. An-Nas [144]: 5).
Asy-Syaikh Abi Sa’id bin Musthafa Al-Khadimi di dalam kitabnya, Barîqah Al-Mahmūdiyyah, menyebutkan perkataan Syaikh Abu Abdillah Ibnu Khafif rahimahullah yang mengatakan, bahwa penyebab orang terkena was-was karena sedang dipermainkan setan[3]. Berikutnya, Asy-Syaikh Al-Khadimi menyebutkan tujuh efek bahaya dari was-was ini berikut penawarnya. Di antara ketujuh macam efek tersebut ialah;
- Menjadi bahan ejekan setan.
- Meninggalkan perintah Allah, yakni agar menjadikan setan sebagai musuh[4], bukan malah mengikutinya.
- Berlebih-lebihan menggunakan air (ketika berwudhu`). Sebab telah disebutkan oleh ayat, bahwa orang yang berlebihan hingga menyebabkan sesuatu itu mubadzir, maka dialah temannya setan[5].
- Menyebabkan keterlambatan melakukan shalat hingga menjelang waktu yang dimakruhkan, atau ketinggalan shalat berjama’ah, dan sebagainya, yang berakibat pada tersia-sianya waktu dan umur.
- Memunculkan keraguan sehingga berusaha mengulang-ulang hal yang sama berulang kali.
- Berakibat pada suka berprasangka buruk kepada orang lain, terutama kepada kaum muslimin.
- Menjadi takabbur atau sombong terhadap orang lain, dan suka membanggakan diri sendiri (‘ujub).
Akan halnya penangkal dari rasa was-was, maka Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan[6];
لَهُ دَوَاءٌ نَافِعٌ وَهُوَ اَلْإِعْرَاضُ عَنْهَا جُمْلَةً كَافِيَةً، وَإِنْ كَانَ فِي النَّفْسِ مِنَ التَّرَدُّدِ مَا كَانَ فَإِنَّهُ مَتَى لَمْ يَلْتَفِتْ لِذٰلِكَ لَمْ يُثْبِتْ بَلْ يَذْهَبُ بَعْدَ زَمَنٍ قَلِيْلٍ كَمَا جَرَبَ ذٰلِكَ الْمُوَفِّقُوْنَ، وَأَمَّا مَنْ أَصْغَى إِلَيْهَا وَعَمِلَ بِقَضِيَّتِهَا فَإِنَّهَا لَا تَزَالُ تَزْدَادُ بِهِ حَتَّى تُخْرِجَهُ إِلَى حَيِّزِ الْمَجَانِيْنَ بَلْ وَأَقْبَحَ مِنْهُمْ، كَمَا شَاهَدْنَاهُ فِي كَثِيْرِيْنَ مِمَّنْ اِبْتَلَوْا بِهَا وَأَصْغَوْا إِلَيْهَا وَإِلَى شَيْطَانِهَا.
“Ada obat penawar yang paling mujarab untuk penyakit ini, yakni mengabaikan secara keseluruhan. Meskipun dalam dirinya muncul keraguan yang hebat. Karena jika dia tidak memperhatikan keraguan ini, maka keraguannya tidak akan menetap dan akan pergi dengan sendirinya dalam tempo waktu yang tidak lama. Sebagaimana cara ini pernah dilakukan oleh mereka yang mendapat pertolongan dari Allah hingga terlepas dari rasa was-was. Sebaliknya, orang yang memperhatikan keraguan yang muncul (dari dalam hatinya) dan menuruti bisikan dari keraguannya itu, maka dorongan rasa was-was akan semakin bertambah, sampai menyebabkan dirinya seperti orang gila, atau bahkan lebih parah dari orang gila. Sebagaimana yang pernah kami lihat pada banyak orang yang mengalami cobaan ini, sementara dia masih saja memperhatikan bisikan was-wasnya dan ajakan setannya.”

Al-Haitami menyebutkan pula alternatif lain cara untuk mengusir rasa was-was[7]. Ia mengatakan;
وَجَــاءَ فِي طَرِيْقٍ آخَرٍ فِيْمَنْ اِبْتُــلِيَ بِالْوَسْوَسَةِ، فَلْيَقُلْ: ‘‘آمَنْتُ بِاللهِ وَرُسُلِهِ‘‘، وَلَا شَكَّ أَنَّ مَنْ اِسْتَحْضَرَ طَرَائِقَ رُسُلِ اللهِ سِيَمَا نَبِيُّنَا صلى الله عليه وسلم وَجَدَ طَرِيْقَتَهُ وَشَرِيْعَتَهُ سَهْلَةً وَاضِحَةً بَيْضَاءً بَيِّنَةً سَهْلَةً لَا حَرَجَ فِيْهَا وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ وَمَنْ تَأَمَّلَ ذٰلِكَ وَآمَنَ بِهِ حَقَّ إِيْمَانِهِ ذَهَبَ عَنْهُ دَوَاءُ الْوَسْوَسَةِ وَالْإِصْغَاءِ إِلَى شَيْطَانِهَا. وَفِي كِتَابِ اِبْنِ السُّنِّي مِنْ طَرِيْقِ عَائِشَةَ رضي الله عنها: مَنْ بَلَى هذَا الْوَسْوَاسَ فَلْيَقُلْ آمَنَّا بِاللهِ وَ بِرُسُلِهِ ثَلَاثًا فَإِنَّ ذلِكَ يُذْهِبُهُ عَنْهُ. وَذَكَرَ اَلْعِزُّ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ وَغَيْرُهُ نَحْوُ مَا قَدَّمْتُهُ فَقَـالُوْا: دَوَاءُ الْوَسْوَسَةِ أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّ ذٰلِكَ خَاطِرٌ شَيْطَانِيٌّ، وَأَنَّ إِبْلِيْسَ هُوَ الَّذِيْ أَوْرَدَهُ عَلَيْهِ وَأَنَّهُ يُقَاتِلُهُ، فَيَكُوْنُ لَهُ ثَوَابُ الْمُجَـاهِدِ; لِأَنَّهُ يُحَـارِبُ عَدُوَّ اللهِ، فَـإِذَا اسْتَشْعَرَ ذٰلِكَ فَرَّ عَنْهُ.
“Telah datang riwayat (hadits) tentang cara lain untuk menyembuhkan rasa was-was, yakni dengan membaca; “Amantu billahi wa rusulihi (Saya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya)”. Maka tidak diragukan lagi bahwa siapa pun yang mengikuti jalan para utusan Allah, terlebih mengikuti jalan (sunnah) nama Nabi kita Rasulullah Saw, maka akan menemukan bahwa metode dan aturan hukum syari’atnya itu mudah, jelas, dan tidak ada kesulitan di dalamnya, dan Allah tidak ingin menyulitkan kamu. Di dalam kitabnya Ibnu Sinni disebutkan riwayat dari jalur Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang mengatakan; “Siapa pun yang memiliki diuji dengan was-was ini, maka hendaknya ia membaca; “Amantu billahi wa rusulihi”, sebanyak tiga kali, oleh karena sebab bacaan ini maka was-was itu akan hilang darinya. Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam beserta ulama lainnya juga menjelaskan sebagaimana yang telah aku (Al-Haitami) sebutkan. Mereka menyatakan; “Obat penyakit was-was ialah: “Hendaknya dia meyakini bahwa hal itu adalah bersitan yang muncul dari setan, dan Iblislah yang mendatangkan was-was itu, dan dengan membaca doa ini sama halnya dia sedang berperang melawan iblis, sehingga dia mendapatkan pahala orang yang berjihad, sebab dia sedang memerangi musuh Allah. Maka apabila Iblis merasakan adanya serangan ini, dia akan segera lari menghindari orang tersebut.”
Telah disebutkan oleh Muslim pada kitab haditsnya[8] riwayat yang bersumber dari Abi Al-‘Alla` Al-Bayadhi;
أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ أَبِي الْعَاصِ، أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ حَالَ بَيْنِي وَبَيْنَ صَلَاتِي وَقِرَاءَتِي يَلْبِسُهَا عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُــ لَهُ خَنْزَبٌ، فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللّٰهِ مِنْـهُ، واتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلَاثًا. قَالَـــ: فَفَعَلْتُ ذٰلِكَ فَـأَذْهَبَـهُ اللّٰهُ عَنِّي. (رواه مسلم)
“Sesungguhnya sahabat Utsman bin Abi Al-‘Ash ra mendatangi Nabi Saw (mengadukan masalahnya), dan ia berkata; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya setan telah menghalangi aku dengan shalatku (tidak bisa khusyu`), dan mengacaukan bacaan shalatku. Maka kemudian Nabi Rasulullah Saw bersabda; “(yang mengganggumu) Itu adalah setan yang bernama Khanzab. Jika engkau merasakan sesuatu (gangguan) maka (segera) bacalah ta’awwudz dan meniuplah ke arah kirimu sebanyak tiga kali.” Lalu Utsman bin Abi Al-‘Ash ra berkata: “Maka aku segera melakukan saran beliau Saw, dan Allah pun menghilangkan was-was itu dariku.” (HR. Muslim).
Al-Ghazali mengatakan[9] bahwa orang yang terkena penyakit was-was dalam shalatnya termasuk golongan yang tertipu, sehingga apabila ia hendak berniat untuk shalat, maka bisikan dari was-was itu akan menyerangnya, setan tidak membiarkan orang tersebut mempercayai niatnya yang benar, sehingga deskripsi takbir berubah karena beratnya tindakan pencegahan yang ditimbulkan oleh rasa was-was. Setan terus-menerus berusaha membisikkan gangguan-gangguan dalam hatinya sampai ia tertinggal jama’ah shalat, baik tertinggal dari segi rukun-rukun shalat, bahkan sampai keluar dari waktu shalat, oleh karena kurangnya antisipasi dirinya dalam menangkal rasa was-was dalam dirinya, naudzubillahi min dzalik.
Para ulama menganjurkan bahwa termasuk cara untuk menolak rasa was-was ialah membiasakan memperbanyak dzikir. Akan halnya selain bacaan-bacaan yang diambil dari hadits Nabi Saw, adapula bacaan untuk menangkal rasa was-was yang diberikan oleh Asy-Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzili rahimahullah, yang mana beliau mengatakan[10]; “Apabila kamu sering mengalami was-was, maka bacalah;
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْخَلَّاقِ إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيْدٍ، وَمَا ذٰلِكَ عَلَى اللهِ بِعَزِيْزٍ، أَذْهَبَ اللهُ عَنَّا سَائِرَ الْمَضَارِ وَالْمَخَاوِفِ وَالْفِتَنِ وَأَنَّا لَنَا عَلَى كُلِّ خُلُقٍ حَسَنٍ وَاجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِ الْوِلَايَةِ أَهْلِ النِّعَمِ وَالْمِنَنِ أَنَّهُ عَلَى مَا يَشَاءُ قَدِيْرٌ وَبِالْإِجَابَةِ جَدِيْرٌ.
“Maha Suci Dzat Yang Menguasai semua makhluk, yang jika Ia berkehendak, maka bisa saja Ia melenyapkan kalian dan menggantinya dengan ciptaan yang baru, dan itu mudah bagi Allah Yang Maha Perkasa. Mudah-mudahan Allah Ta’ala melenyapkan pada diri kita segala yang membahayakan, segala yang mengkhawatirkan, dan segala fitnah-fitnah, dan menetapkan kita dengan akhlaq-akhlaq yang baik, dan menjadikan kita di antara golongan orang-orang yang dicintai-Nya, golongan orang-orang yang mendapatkan nikmat dan anugerah. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas apa yang dikehendaki-Nya, dan layak memperoleh ijabah-Nya.”
Dari semua kesimpulan ini, Al-Haitami mengatakan;
وَبِهِ تَعْلَمُ صِحَّةَ مَا قَدَّمْتُهُ أَنَّ الْوَسْوَسَةَ لَا تُسَلِّطُ إِلَّا عَلَى مَنْ اِسْتَحْكَمَ عَلَيْهِ الْجَهْلُ وَالْخَبْلُ وَصَارَ لَا تَمْيِيْزَ لَهُ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ عَلَى حَقِيْقَةِ الْعِلْمِ وَالْعَقْلِ فَإِنَّهُ لَا يَخْرُجُ عَنِ الْإِتِّبَاعِ وَلَا يَمِيْلُ إِلَى الْاِبْتِدَاعِ، وَأَقْبَحُ الْمُبْتَدِعِيْنَ اَلْمُوَسْوِسُوْنَ.
“Dari keterangan ini, kamu bisa mengetahui apa yang telah aku sampaikan, bahwa rasa was-was hanya akan mendatangi orang yang diliputi kebodohan dan orang yang kacau pikirannya, sehingga menjadi orang yang tidak punya kemampuan untuk membedakan (antara yang haq dan yang bathil). Sementara orang yang berada di atas ilmu dan akal yang hakiki, maka dia tidak akan keluar dari ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi Saw), dan tidak cenderung kepada perbuatan bid’ah, sebab ahli bid’ah yang paling jelek adalah orang yang terjangkiti penyakit was-was.”
Faedah-Faedah Dari Khusyu’nya Hati.
Setelah kita membahas lebih jauh tentang khusyu’ dalam shalat yang merupakan ruh dari shalat itu sendiri, maka sebagai penutup pembahasan, kami sertakan beberapa faedah dari ungkapan para ‘arifbillah yang telah sampai pada puncak pemahaman rahasia dibalik ibadah shalat, serta pengalaman spiritual mereka yang telah sampai pada fase dzauqiyah-nya shalat, sehingga hikmah-hikmah ketuhanan telah mereka peroleh, dan mereka nyatakan dalam bentuk prestasi-prestasi ibadah yang sangat luar biasa, serta mereka tampakkan pada perilaku-perilaku yang terpuji. Merekalah orang-orang yang telah sampai ke hadirat Ilahi, di samping para nabi dan rasul, mereka orang-orang yang cemerlang, yang kedudukannya di dunia ini layaknya bintang-bintang yang gemerlapan di langit, yang memberi petunjuk bagi siapapun yang ingin menempuh jalan menuju kepada-Nya, mereka tak segan memberi arahan, baik melalui ucapan maupun bimbingan amaliyah berupa mujahadah, riyadhah, serta cara mensucikan jiwa dari kotoran nafsu dan syahwat yang menjadi penghalang bagi terbitnya nur Ilahiyyah, dan di antara manfaat dari khuysu’nya hati itu ialah[11];
- Dapat memunculkan rasa takut dan perasaan segan.
- Dapat menampakkan aspek keimanan dan keislaman yang baik.
- Sebagai bukti kebenaran dan integritas hamba.
- Sebagai bentuk informasi bagi pengabdian seorang hamba kepada Allah, dan penolakannya bagi segala sesuatu selain Allah.
- Sebagai bentuk peleburan dosa dan memaksimalkan pahala yang diperolehnya.
- terbebas dari siksaan dan hukuman.
- Mendapatkan kebahagiaan dengan surga.
- Kekhusyu’an akan mengangkat derajat pemiliknya pada hari kiamat kelak.
- Kekhusyu’an dapat menundukkan pandangan dan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan dosa.
- Khusyu’ dapat menghilangkan hati yang keras.
- Khusyu’ di dalam shalat akan menuntun pemiliknya menuju kepada kebahagiaan, dan
- Siapa yang khusyu’ hatinya maka setan tidak akan bisa mendekat.
Referensi Kitab:
[1] Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jȃmi’ Li Ahkȃm Al-Qur`ȃn: 19/435.
[2] Al-Mawardi, Tafsir An-Nukat Wa Al-‘Uyūn: 5/346.
[3] Musthafa Al-Khadimi, Barîqah Al-Mahmūdiyyah Fî Syarhi At-Tharîqah Al-Muhammadiyyah: 2/1409-1410.
[4] Perintah untuk menjadikan setan sebagai musuh ini disebutkan pada beberapa ayat, yakni; Qs. Al-Baqarah [2]: 168, dan 208. Qs. Al-An’am [6]: 142, Qs. Al-A’raf [7]: 22, Qs. Al-Fathir [35]: 6, Qs. Yasin [36]: 60, dan Qs. Az-Zukhruf [43]: 62.
[5] Qs. Al-Isra` [17]: 27.
[6] Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatȃwa Al-Fiqhiyyah Al-Kubrȃ: 1/149.
[7] Ibid,: 1/149-150.
[8] Muslim, Shahîh Muslim, hal. 1209, hadits No. 2203.
[9] Al-Ghazali, Ashnȃf Al-Maghrūrîn, hal. 54.
[10] Ibnu Hajar Al-Haitami, Fatȃwa Al-Fiqhiyyah Al-Kubrȃ: 1/150.
[11] Ibnu Rajab Al-Hanbali, Al-Khusyū’ Fî Ash-Shalȃt, hal. 22.
1 Comment
gate io ekşi · 20 Mei, 2023 at 19:10
I am a website designer. Recently, I am designing a website template about gate.io. The boss’s requirements are very strange, which makes me very difficult. I have consulted many websites, and later I discovered your blog, which is the style I hope to need. thank you very much. Would you allow me to use your blog style as a reference? thank you!