Penjelasan Tentang Khusyu’ Di Dalam Shalat

1. Menurut Bahasa.

gambar ilustrasi.

Khusyu’ (اَلْخُشُوْعُ) menurut bahasa berasal dari akar kata (mashdar); خَشَعَ, يَخْشَعُ, (خُشُوْعًا), yang diambil dari kata sandang; خ,ش,ع, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Faris[1], ialah lafadz yang menunjuk pada satu makna, yakni; saling menanggung, atau secara bersama-sama, atau bermakna kolektif (at-tadhȃmin)[2], sebagaimana dikatakan;

خَشَعَ فُلَانٌ إِذَا تَطَامَنَ وَطَأْطَأَ رَأْسَهُ.

“Si fulan menjadi khusyu’ jika merasakan ketenangan, dan ia menundukkan kepalanya.”

Makna di atas sebenarnya lebih mendekati pada makna khudhu’ (اَلْخُضُوْعُ), kecuali bahwa kata al-khudhu’ lebih pada ekspresi tubuh, serta pengakuan dengan ketundukan (al-iqrȃr bil istikhdzȃ`). Sedangkan khusyu’ lebih pada ekspresi tubuh, suara, dan mata. Sebagaimana firman Allah Ta’ala;

خَٰشِعَةً أَبۡصَٰرُهُمۡ تَرۡهَقُهُمۡ ذِلَّةٞ ۖ وَقَدۡ كَانُواْ يُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ وَهُمۡ سَٰلِمُونَ

“Pandangan mereka tertunduk ke bawah, diliputi kehinaan, dan sungguh, dahulu (di dunia) mereka telah diseru untuk bersujud waktu mereka sehat (tetapi mereka tidak melakukan).” (Qs. Al-Qalam [68]: 43).

Ibnu Duraid[3] mengatakan:

اَلْخَاشِعُ اَلْمُسْتَكِيْنُ الرَّاكِعُ.

“Orang yang khusyu’ adalah orang yang merasakan ketenangan hati dan yang berlutut (tunduk)[4].”

Ar-Raghib Al-Ashfihani mengatakan[5]:

اَلْخُشُوْعُ اَلضَّرَاعَةُ، وَأَكْثَرُ مَا يُسْتَعْمَلُ الْخُشُوْعُ فِيْمَا يُوْجَدُ عَلَى الْجَوَارِحِ، وَالضَّرَاعَةُ أَكْثَرُ مَا تُسْتَعْمَلُ فِيْمَا يُوْجَدُ فِي الْقَلْبِ، وِلِذٰلِكَ قِيْلَ فِيْمَا رُوِيَ: إِذَا ضَرَعَ الْقَلْبُ خَشَّعَتْ اَلْجَوَارِحُ.

“Al-Khusyu’ adalah (sama dengan) Adh-Dhara’ah (tadharru’), dan pada ungkapan “Al-Khusyu’” kebanyakan penggunaan bahasanya dijumpai pada ekspresi anggota tubuh. Sedangkan pada kata “Adh-Dhara’ah” kebanyakan penggunaan bahasanya dijumpai pada (ekspresi dalam) hati, dan oleh karenanya dikatakan pada sebuah riwayat, bahwa apabila hati telah tadharru’ (merendah diri), maka anggota badan memperlihatkan kekhidmatannya.”

Abu Hilal Al-‘Askari menjelaskan dengan lebih detail di dalam kitabnya, Al-Furūq Al-Lughawiyyah[6];

أَنَّ الْخُشُوْعَ عَلَى مَـا قِيْلَ فِعْلٌ يُرَى فَاعِلُهُ أَنَّ مَنْ يُخْضِعَ لَهُ فَوْقَهُ وَأَنَّهُ أَعْظَمُ مِنْهُ. وَالْخُشُوْعُ فِي الْكَلَامِ خَاصَّةٌ وَالشَّاهِدُ قَوْلُهُ تَعَالَى: وَخَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمٰنِ، وَقِيْلَ هُمَـا مِنْ أَفْعَالِ الْقُلُوْبِ، وَقَالَـــ اِبْنُ دُرَيْدٍ: يُقَالُ خَضَعَ الرَّجُلُ لِلْمَرْأَةِ وَأَخْضَعَ إِذَا الْآنَ كَلَامُهُ لَهَا، قَالَــ: وَالْخَاضِعُ: اَلْمُطَأْطِئُ رَأْسَهُ وَعُنُقَهُ، وَفِي التَّنْزِيْلِ: فَظَلَّتْ أَعْنَاقُهُمْ لَهَا خَاضِعِيْنَ، وَعِنْدَ بَعْضُهُمْ أَنَّ الْخُشُوْعَ لَا يَكُوْنُ إِلَّا مَعَ خَوْفِ الْخَاشِعِ اَلْمَخْشُوْعَ لَهُ وَ لَا يَكُوْنُ تَكَلُّفًا، وَلِهٰذَا يُضَافُ إِلَى الْقَلْبِ، فَيُقُالُ: لَخَشَعَ قَلْبُهُ، وَأَصْلُهُ اَلْبَسُّ، وَمِنْهُ يُقَالُـــ: قِفْ خَـاشِعٌ لِذِيْ تَغْلَبْ عَلَيْهِ السُّهُوْلَةُ، وَالْخُضُوْعُ هُوَ اَلنِّظَامُ وَالتَّطَأْطُؤُ وَلَا يَقْتَضِي أَنْ يَكُوْنَ مَعَـهُ خَوْفٌ، وَلِهٰذَا لَا يَجُوْزُ إِضَـافَتُهُ إِلَى الْقَلْبِ، فَيُقَالُ: خَضَعَ قَلْبُهُ، وَقَدْ يَجُوْزُ أَنْ يَخْضَعَ الْإِنْسَانُ تَكَلُّفًا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّ الْمَخْضُوْعَ لَهُ فَوْقَهُ وَلَا يَكُوْنُ الْخُشُوْعُ كَذٰلِكَ، وَقَالَـــ بَعْضُهُمْ: اَلْخُدُوْعُ قَرِيْبُ الْمَـعْنَى مِنَ الْخُشُـوْعِ إِلَّا أَنَّ الْخُشُـوْعَ فِي الْبَدَنِ وَالْإِقْـرَارَ بِالْإِسْتِجْدَاءِ وَالْخُشُـوْعَ فِي الصَّوْتِ.

“Sesungguhnya (kata) “Al-Khusyu’” menurut apa yang dikatakan, adalah suatu tindakan dimana pelaku melihat bahwa orang yang dihormatinya lebih tinggi kedudukannya daripada dirinya, dan lebih agung dari dirinya. Kata khusyu’ dalam ungkapan bahasanya bersifat khusus, dan buktinya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan semua suara tunduk merendah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih[7]”. Dikatakan bahwa keduanya (khusyu’ dan khudhu’) bagian dari perbuatan hati (af’alul qulūb). Ibnu Duraid mengatakan; “Dikatakan, bahwa laki-laki itu merendah di hadapan perempuan, dan lebih merendah lagi ketika berbicara dengannya.” Kemudian Ibnu Duraid berkata; “Al-Khȃdhi’u, ialah orang yang menundukkan kepala dan lehernya.” Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`an (yang artinya); “yang akan membuat tengkuk mereka tunduk dengan rendah hati kepadanya[8].” Menurut sebagian ulama mengatakan; “Sesungguhnya kekhusyu’an tidak akan bisa terwujud kecuali disertai dengan munculnya rasa takutnya orang yang tunduk patuh kepada yang dipatuhi, bukan terjadi karena paksaan, dan oleh karenanya, perbuatan ini disandarkan pada aktifitas hati, sehingga dikatakan; “Maka khusyu’lah hatinya,” yang asalnya (bermakna) memakaikan. Dikatakan; “Berdirilah dengan kerendahan hati kepada yang bisa mengalahkanmu dengan mudah.” Al-Khudhu’ merupakan suatu tatanan dan sebuah kerendahdirian yang tidak harus disertai rasa takut. Maka dari itu, khudhu’ tidak disandarkan pada hati, sehingga dikatakan; “hatinya telah tunduk”, dan bisa jadi seseorang itu menundukkan diri karena dipaksa, tanpa adanya keyakinan bahwa orang yang berada di atasnya itu layak dihormati, dan khusyu’ itu tidaklah seperti yang demikian ini. Sebagian dari mereka mengatakan; “Al-Khudhu’ maknanya lebih mendekati daripada Al-Khusyu’, kecuali kata Al-Khusyu’ (pemakaian bahasanya) lebih tertuju pada ekspresi tubuh, lebih pada pengakuan dalam bentuk permohonan, dan merendahkan suara.”

gambar ilustrasi.

2. Menurut Istilah.

Sedangkan kata “Al-Khusyu’” menurut istilah ialah[9];

قِيَامُ الْقَلْبِ بَيْنَ يَدَيِ الرَّبِّ بِالْخُضُوْعِ وَالذُّلِّ، وَقِيْلَ: هُوَ اَلْإِنْقِيَادُ لِلْحَقِّ.

“Tegaknya hati di hadapan Tuhan (Allah Ta’ala) dengan segala kerendahdirian dan kehinaan diri, dan dikatakan: Ini adalah penyerahan diri kepada Allah Ta’ala.”

Imam Al-Junaid Al-Baghdadi mengatakan:

اَلْخُشُوْعُ تَذَلُّلُ الْقَلْبِ لِعَلَّامِ الْغُيُوْبِ.

“Khusyu’ adalah hati menghinakan diri di hadapan Dzat Yang Maha Mengetahui yang ghaib.”

Al-Harawi mengatakan[10];

اَلْخُشُوْعُ خُمُوْدُ النَّفْسِ وَهُمُوْدُ الطَّبَاعِ لِمُتَعَاظِمٍ أَوْ مُفَزَّعٍ.

“Khusyu’ adalah kelesuan jiwa dan depresinya watak seseorang karena faktor pengagungan, atau karena sesuatu yang menakutkan.”

Ibnu Rajab Al-Hanbali mencantumkan pada kitabnya[11]:

وَحَكَى إِبْنُ حَجَرٍ عَنِ الْفَخْرِ الرَّازِيِّ فِي تَفْسِيْرِهِ: اَلْخُشُوْعُ تَارَةً يَكُوْنُ مِنْ فِعْلِ الْقَلْبِ كَالْخَشْيَةِ، وَتَارَةً مِنْ فِعْلِ الْبَدَنِ كَالسُّكُوْنِ، وَقِيْلَ: لَابُدَّ مِنْ اِعْتِبَارِهِمَا، وَقَالَــــ غَيْرُهُ: هُوَ مْعْنَى يَقُوْمُ بِالنَّفْسِ عَنْهُ سُكُوْنٌ فِي الْأَطْرَافِ يُلَائِمُ مَقْصُوْدُ الْعِبَادَةِ.

“Ibnu Hajar menceritakan tentang perkataan Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya: “Kerendahan hati (khusyu’) terkadang sekali waktu muncul dari tindakan hati[12], seperti halnya rasa takut, dan terkadang sekali waktu muncul pula dari tindakan tubuh, seperti halnya ketenangan. Sehingga dikatakan (oleh Ibnu Hajar): “Maka perlu untuk mempertimbangkan kedua keadaan ini”, dan yang lainnya mengatakan: “Ini adalah makna yang pada puncaknya jiwa telah memperoleh ketenangan, yang mana ini sesuai dengan tujuan dari ibadah itu sendiri.”

Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah mengatakan[13];

وَالْحَقُّ أَنَّ الْخُشُوْعَ مَعْــنًى يَلْتَئِـــمُ مِنَ التَّعْظِيْــمِ وَالْمَحَبَّةِ وَالذُّلِّ وِالْإِنْكِسَارِ.

“Yang benar adalah, bahwa sesungguhnya khusyu’ itu merupakan sebuah makna yang menunjukkan pada kerendahan diri yang muncul dari (sebab) pengagungan, mahabbah, kehinaan terhadap diri sendiri, dan patah hati.”

3. Tingkatan Khusyu’.

Allah Ta’ala berfirman;

أَلَمۡ يَأۡنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا يَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡ ۖ وَكَثِيرٞ مِّنۡهُمۡ فَٰسِقُونَ

“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras, dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.” (Qs. Al-Hadid [57]: 16).

Al-Harawi menyebutkan bahwa khusyu’ itu memiliki tiga tingkatan[14];

  1. Tingkatan pertama; tunduk pada perintah (at-tadzallul lil amri), tunduk pada hukum (al-istislȃm lil hukmi), dan kerendahan hati dalam melihat kebenaran (al-ittidhȃ’ linadzril haqqi).
  2. Tingkatan kedua; mengantisipasi penyakit hati dan amal (taraqqubu ȃfȃtin nafsi wal ‘amali), melihat keutamaan setiap orang yang berbudi luhur (ru`yatu fadhli kulli dzi fadhlin), dan menghembuskan semilir angin pemusnahan (tunsimu nasimal fanȃ`i).
  3. Tingkatan ketiga; menjaga kesucian ketika terbukanya hijab atau penghalang bathin (hifdzul hurmati ‘indal mukȃsyafati), mengosongkan waktu dari sifat pamer kepada makhluk (tashfiyatul qalbi min mirȃ`ȃtil khalqi), dan melepaskan diri dari memandang keutamaan diri sendiri (tajrîdu ru`yatil fadhli).

Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah memberikan pengertian dari ketiga tingkatan ini pada kitabnya, Madȃrij As-Sȃlikîn, sebagaimana berikut;

gambar ilustrasi.

Tingkatan pertama;

1. Tunduk pada perintah, yakni; menerima dengan kerendahan diri, patuh, dan melaksanakan perintah baik lahir maupun bathin sama-sama menyepakati bersamaan dengan menampakkan kelemahan diri, dan merasa butuh bimbingan untuk melaksanakan perintah sebelum bertindak, serta mengharapkan pertolongan selama menjalankan perintah, dan menerima (konsekwensinya)nya setelah bertindak.

2. Tunduk pada hukum, yakni; pengertian ini boleh dimaksudkan pada aturan hukum agama, yang maknanya; tidak berusaha menentangnya dengan argumentasi atau atas dasar keinginan syahwat, atau pengertian ini dapat dimaksudkan untuk menyerah pada aturan nasib, dan ini tidak boleh diterima dengan kemarahan, kebencian, dan sikap keberatan. Maka makna yang benar dari pengertian ini ialah; bahwa “Khusyu’” adalah tunduk dengan kepasrahan serta kerendahan diri terhadap perintah dan ketetapan (qadha`)nya Allah Ta’ala.

3. Kerendahan hati dalam melihat kebenaran, yakni; ini adalah bentuk ketundukan hati dan anggota badan, dan rapuhnya sebab melihat Tuhan, dan kemunculannya begitu detail sesuai apa yang ada di hati dan anggota badan, dan ini adalah salah satu dari dua penafsiran firman Allah Ta’ala (yang artinya)[15]: “Dan bagi siapa yang takut akan saat menghadap Tuhannya, ada dua surga,” dan firman-Nya (yang artinya)[16]: “Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya, dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya.” Ini adalah kedudukan Tuhan atas hamba-Nya melalui pengetahuan, kekuasaan, dan sifat ketuhanan.

Ketakutan hamba pada kedudukan ini sudah barang tentu menuntut adanya kekhusyu’an hati, semakin ia menghadirkan hatinya di hadapan Allah Ta’ala, maka semakin meningkat kekhusyu’an bathinnya. Inilah yang membuat hati tercerai berai ketika lalai dari pengertiannya tentang kedudukan Allah dan memandang-Nya.

Tingkatan kedua;

1. Mengantisipasi penyakit hati dan amal, yakni; dimaksudkan pada mencermati kekurangan pada hati dan amal perbuatan, beserta semua cacat dari keduanya yang tampak jelas bagimu. Sebab hati bisa khusyu’ dengan mencermati pada keduanya, yakni dengan cara mengkaji aib-aib yang ada pada hati serta kekurangannya, semisal; kesombongan, membanggakan diri, pamer, lemahnya kejujuran, minimnya keyakinan, gangguan niat, tidak adanya motif untuk melawan keinginan hawa nafsunya, tidak adanya amal yang diperbuat agar Allah ridha, dan lain sebagainya dari berbagai bentuk aibnya hati berikut hal-hal yang dapat merusak amal.

2. Melihat keutamaan setiap orang yang berbudi luhur, yakni; memperhatikan hak-hak orang lain dan memenuhinya, dan jangan melihat bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan bagian dari hakmu atas mereka, dan jangan menentang mereka, sebab penentangan ini merupakan salah satu dari bentuk keegoisan dan kebodohan jiwa, dan jangan menuntut mereka atas dasar hakmu, serta kenali mereka melalui orang yang memiliki keutamaan di antara mereka, dan lupakan tentang keutamaan dirimu sendiri.

3. Menghembuskan semilir angin pemusnahan diri, yakni; ketika seseorang telah sampai pada puncak tujuan, dia menjadikan kedudukan ini seperti hembusan angin sepoi-sepoi sebab kelembutannya, dan dibuatnya perumpamaan dengan angin sepoi-sepoi karena kelembutan posisinya dalam jiwa, dan intensitas keterikatannya sangat kuat pada dirinya. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa khusyu’ bisa menjadi sebab sampainya pada kedudukan fana` (peniadaan diri), yang pada akhirnya ia menjadi sosok yang utama dan diutamakan.

Tingkatan ketiga;

1. Menjaga kesucian ketika terbukanya hijab bathin (mukasyafah), yakni; ini merupakan pengendalian diri dengan tetap berada pada ketundukan hati dan penyerahan diri, mengendalikan diri dari menyebarluaskan rahasia-rahasia bathin, serta mengendalikan diri dari memberikan bukti-bukti yang mana perlu adanya mukasyafah (terbukanya hijab bathin), dan hendaknya menyembunyikan isyarat-isyarat dari celoteh bathin. Sekalipun tanpa disertai kekhusyu’an, kesucian diri harus terjaga.

2. Mengosongkan waktu dari sifat pamer pada makhluk, yakni; pada tingkatan ini bukan berarti ia mengosongkan waktunya dari riya`. Orang yang sampai pada kedudukan ini memiliki kemuliaan, dan bahkan lebih tinggi dari itu. Sebaliknya, yang dimaksud adalah; dia menyembunyikan kondisinya dan kesungguhan ubudiyyahnya dari semua orang, seperti menampakkan melalui kerendahan hatinya, kehinaannya, dan ketundukannya, sehingga orang tidak sampai melihatnya, dan tidak membuat orang lain merasa takjub dengan keberadaannya yang dikhawatirkan akan merusak waktunya, hatinya, dan kondisi ruhaniyahnya di hadapan Allah Ta’ala. Berapa banyak para penempuh jalan ketuhanan (salik)[17] yang dipecat dan terusir dari hadratillah dan diturunkan kedudukannya oleh Allah Ta’ala akibat tidak bisa menjaga diri, berikut orang yang tetap dijaga oleh Allah Ta’ala dengan penjagaan-Nya sebab kesanggupannya untuk menahan diri dari pamer amal ibadahnya? Maka tidak ada yang lebih bermanfaat bagi orang yang benar-benar jujur dalam penghambaannya selain dari menampakkan kemiskinan dirinya (rasa butuhnya kepada Allah Ta’ala)[18], menampakkan ketidakberdayaannya, dan kehinaan dirinya, dan bahwa dia bukanlah apa-apa, dan tidak dibenarkan setelah keislamannya sampai ia dipanggil dengan gelar kehormatan[19].

3. Menahan diri dari melihat keutamaan dirinya sendiri, yakni: tidak melihat keutamaan serta kebaikan pada diri sendiri, selain memandang bahwa kelebihan dan keutamaan yang ada pada dirinya itu adalah pemberian dari Allah Ta’ala. Maka memandang keutamaan dan kebaikan diri sendiri itu merupakan penyakit dari dirimu yang muncul tanpa alasan, dan tidak ada hak bagimu untuk mengakuinya, serta tidak ada satupun cara sebelumnya bagimu untuk bisa memperolehnya kecuali dari pemberian Allah[20].

Shalat merupakan penghubung antara Tuhan dan hamba, dan jika ada hubungan antara dia dan Tuhan, maka kewajiban seorang hamba adalah tunduk pada ikatan ketuhanan atas penghambaan. Telah disebutkan dalam satu riwayat, bahwa bilamana Allah Ta’ala telah memanifestasikan diri-Nya pada sesuatu maka Dia jadikan sesuatu itu tunduk kepada-Nya, dan siapa pun yang telah mampu membuktikan ikatan ini melalui shalat, maka kemuliaan manifestasi itu akan tampak terang benderang baginya, sehingga jadilah ia semakin khusyu’, dan hanya kebahagiaan yang hakiki yang akan diraih oleh orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Sebagaimana disebutkan oleh ayat;

ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyu’ dalam shalatnya,” (Qs. Al-Mu`minun [23]: 1-2).

gambar ilustrasi.

Kami (penulis) mencermati bahwa shalat mempunyai sisi lain dalam segi pembuktian akan janji seorang hamba kepada Allah, yang mana melalui media shalat ini, seolah-olah hamba itu dituntut untuk mengingat kembali ikrarnya kepada Allah sebelum dilahirkan ke bumi. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّنِيٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدۡنِي وَأَقِمِ ٱلصَّلَٰوةَ لِذِكۡرِيٓ

“Sungguh, Aku ini (adalah) Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Qs. Thaha [20]: 14).

Jika shalat itu untuk berdzikir mengingat Allah Ta’ala, maka bagaimana bisa terjadi kelalaian di dalamnya? As-Sayyid Murtadha Az-Zabidi di dalam kitabnya[21], Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin, menjelaskan bahwa huruf ya’ (ي) mutakallim pada ayat di atas yang disandarkan pada lafadz “اَلذِّكْرُ” menunjukkan makna bacaan-bacaan yang telah masyhur di dalam shalat (al-qirȃ`ah al-masyhūrah), yakni dengan pengertian;

لِتَذْكُرَنِي فِيْهَا لِاشْتِمَالِ الصَّلَاةِ عَلَي الْأَذْكَارِ.

“Agar supaya kamu mengingat Aku melalui bacaan-bacaan dzikir yang terkandung di dalam shalat.”

Apabila kita renungkan lebih jauh, maka akan kita dapati bahwa dalam hal mengingat ini mempunyai alasan tersendiri mengapa melalui shalat kita dituntut untuk mengingat? Tiada lain karena kita pernah menyaksikan Allah Ta’ala di alam ruh dahulu kala, yakni sebelum Allah Ta’ala menciptakan jasad kita. Maka pemaklumatan yang diungkapkan oleh Allah Ta’ala melalui ayatnya yang berbunyi;“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku…”, menunjukkan bahwa pada pemaklumatan ini kita dituntut untuk mengingat kembali persaksian kita di alam ruh, yakni sebagaimana diisyaratkan oleh Allah Ta’ala melalui firman-Nya pada surat sebelumnya yang berbunyi;

وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡ ۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآ ۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhan-mu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini,” (Qs. Al-A’raf [7]: 172).

Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah pada kitabnya menyebutkan sebuah atsar Ilahiy (hadits qudsi)[22] yang menyatakan;

إِبْنَ آدَمَ خَلَقْتُكَ لِنَفْسِي فَلَا تَلْعَبْ، وَتَكَفَّلْتُ بِرِزْقِكَ فَلَا تَتْعَبْ، إِبْنَ آدَمَ أُطْلُبْنِي تَجِدُنِي، فَإِنْ وَجَدْتَنِي وَجَدْتَ كُلَّ شَيْءٍ، وَإِنْ فَاتَتَّــنِى فَاتَكَ كُلَّ شَيْءٍ، وَأَنَا أَحَبُّ إِلَيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ.

“Wahai anak Adam, Aku ciptakan kamu untuk-Ku, maka janganlah kamu main-main, dan Aku tanggung rizkimu, maka janganlah kamu bersusah payah. Hai anak Adam, carilah Aku, maka akan kamu temukan Aku, dan apabila kamu telah menemukan-Ku, maka akan kamu dapatkan semuanya, dan jika kamu berlalu dari-Ku, maka segala sesuatu akan terlepas darimu, dan (ketahuilah wahai anak Adam, sesungguhnya) Aku lebih mencintaimu dari segala sesuatu.”

Lalu Ibnu Al-Qayyim mengatakan mengenai atsar ini;

وَجَعَلَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى اَلصَّلَاةَ سَبَبًا مُوَصَّلًا إِلَى قُرْبِهِ، وَمُنَاجَاتِهِ، وَمَحَبَّتِهِ، وَالْأُنْسُ بِهِ.

“Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan shalat sebagai sebab penghubung untuk mendekat kepada-Nya, sebagai sarana untuk munajat kepada-Nya, mahabbah, dan bermesraan dengan-Nya.”

Orang yang shalat dituntut memiliki kesadaran kepada siapa ia menghadap, kesadaran atas apa yang diucapkan ketika shalat, memahami sepenuh hati makna yang terkandung dalam bacaan-bacaan shalat sehingga membantu mendorong hadirnya hati ke hadirat Allah Ta’ala, yang mana dari hadirnya hati ini akan memunculkan kekhusyu’an pada semua anggota tubuh, ketenangan, dan ketentraman. Tentang pentingnya mengerti dan memahami apa yang dibaca ketika shalat ini telah Allah Ta’ala sampaikan melalui firmannya;

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَٰوةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءً فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

“Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekadar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Sedangkan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, lagi Maha Pengampun.” (Qs. An-Nisa` [5]: 43).

Pada ayat di atas Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu mendekati shalat dalam keadaan mabuk hingga kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan.” Maka orang yang mengucapkan dari apa yang ia baca, sedangkan ia sendiri tidak mengetahui serta memahami apa yang diucapkannya, orang yang demikian ini dianggap telah lalai dalam shalatnya, dan tanpa adanya kehadiran pikiran maka ia seperti halnya orang yang sedang mabuk, sebab pada dasarnya orang yang mabuk itu mengatakan sesuatu tanpa hadirnya pikiran, atau mengoceh tidak jelas. Al-Imam Al-Ghazali memberikan tanggapannya mengenai masalah ini. Ia mengatakan;

أَمَّا الصَّلَاةُ فَلَيْسَ فِيْهَا إِلَّا ذِكْرٌ وَقِرَاءَةٌ، وَرُكُوْعٌ وَسُجُوْدٌ، وَقِيَامٌ وَقُعُوْدٌ: فَأَمَّا الذِّكْرُ فَإِنَّهُ مُحَاوَرَةٌ وَمُنَاجَاةٌ مَعَ اللهِ تَعَالَى؛ فَإِمَّا أَنْ يَكُوْنَ الْمَقْصُوْدُ مِنْهُ كَوْنُهُ خِطَابًا وَمُحَاوَرَةً، أَوِ الْمَقْصُوْدُ مِنْهُ الْحُرُوْفُ وَالْأَصْوَاتُ اِمْتِحَانًا لِلِّسَانِ بِالْعَمَلِ؛ كَمَا تَمْتَحِنُ الْمُعِدَّّةُ وَالْفَرَجُ بِالْإِمْسَاكِ فِي الصَّوْمِ، وَكَمَا يَمْتَحِنُ الْبَدَنُ بِمَشَاقِّ الْحَجِّ، وَيَمْتَحِنُ الْقَلْبُ بِمَشَقَّةِ إِخْرَاجِ الزَّكَاةِ وَاقْتِطَاعِ الْمَالِ الْمَعْشُوْقِ. وَلَا شَكَّ أَنَّ هٰذَا الْقَسْمَ بَاطِلٌ؛ فَإِنَّ تَحْرِيْكُ اللِّسَانِ بِالْهَذْيَانِ مَا أَخْفَهُ عَلَى الْغَافِلِ، فَلَيْسَ فِيْهِ اِمْتِحَانٌ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ عَمَلٌ، بَلِ الْمَقْصُوْدُ الْحُرُوْفُ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ نُطْقٌ، وَلَا يَكُوْنُ نُطْقًا إِلَّا إِذَا أَعْرَبَ عَمَّا فِي الضَّمِيْرِ، وَلَا يَكُوْنُ مُعْرَبًا إِلَّا بِحُضُوْرِ الْقَلْبِ؛ فَأَيُّ سُؤَالٍ فِي قَوْلِهِ: إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمِ إِذَا كَانَ الْقَلْبُ غَافِلًا؟ وَإِذَا لَمْ يَقْصِدْ كَوْنُهُ تَضَرُّعًا وَدُعَاءً. فَأَيُّ مَشَقَّةٍ فِي تَحْرِيْكِ اللِّسَانِ بِهِ مَعَ الْغَفْلَةِ لَاسِيَمَا بَعْدَ الْاِعْتِيَادِ؟ هٰذَا حُكْمُ الْأَذْكَارِ، بَلْ أَقُوْلُ: لَوْ حَلَفَ الْإِنْسَانُ وَقَالَ: (لَأَشْكُرَنَّ فُلَانًا وَأَثْنَي عَلَيْهِ وَأَسْأَلُهُ حَاجَةً)، ثُمَّ جَرَّتْ اَلْأَلْفَاظُ الدَّالَّةُ عَلَى هٰذِهِ الْمَعَانِي عَلَى لِسَانِهِ فِي النَّوْمِ, لَمْ يَبُرْ فِي يَمِيْنِهِ، وَلَوْ جَرَّتْ عَلَى لِسَانِهِ فِي ظُلْمَةٍ وَذٰلِكَ الْإِنْسَانُ حَاضِرٌ وَهُوَ لَا يَعْرِفُ حُضُوْرَهُ وَلَا يَرَاهُ, لَا يَصِيْرُ بَارًا فِي يَمِيْنِهِ؛ إِذْ لَا يَكُوْنُ كَلَامُهُ خِطَابًا وَنُطْقًا مَعَهُ مَا لَمْ يَكُنْ هُوَ حَاضِرًا فِي قَلْبِهِ، فَلَوْ كَانَتْ تَجْرِيْ هـٰذِهِ الْكَلِمَاتُ عَلَى لِسَانِهِ وَهُوَ حَاضِرٌ إِلَّا أَنَّهُ فِي بَيَاضِ النَّهَارِ غَافِلٌ؛ لِكَوْنِهِ مُسْتَغْرِقَ الْهَمِّ بِفِكْرٍ مِنَ الْأَفْكَارِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ قَصْدُ تَوْجِيْهِ الْخِطَابِ إِلَيْهِ عِنْدَ نُطْقِهِ، لَمْ يَصِرْ بَارًا فِيْ يَمِيْنِهِ. وَلَا شَكَّ فِي أَنَّ الْمَقْصُوْدَ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَالْأَذْكَارِ اَلْحَمْدُ وَالثَّنَاءُ وَالتَّضَرُّعُ وَالدُّعَاءُ، وَالْمُخَاطَبُ هُوَ اللهُ، وَقَلْبُهُ بِحِجَابِ الْغَفْلَةِ مَحْجُوْبٌ عَنْهُ، فَلَا يَرَاهُ وَلَا يُشَاهِدُهُ، بَلْ هُوَ غَافِلٌ عَنِ الْمُخَاطَبِ وَلِسَانُهُ يَتَحَرَّكُ بِحُكْمِ الْعَادَةِ، فَمَا أَبْعَدُ هٰذَا عَنِ الْمَقْصُوْدِ بِالصَّلَاةِ الَّتِيْ شُرِّعَتْ لِتَصْقِيْلِ الْقَلْبِ وَتَجْدِيْدِ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى وَرُسُوْخِ عَقْدِ الْإِيْمَانِ بِهِ. هٰذَا حُكْمُ الْقِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ.

Akan halnya shalat tiada apapun di dalamnya selain dzikir, bacaan, ruku’, sujud, berdiri, dan duduk. Sedangkan dzikir adalah dialog dan munajat dengan Allah Ta’ala, baik yang dimaksudkan pada ucapan atau dialog, maupun yang dimaksudkan pada susunan huruf dan bunyi diucapkan oleh lisan adalah untuk melatih lisan melalui perbuatan, seperti halnya puasa untuk menguji perut dan kemaluan selama bulan puasa, dan sebagaimana pula tubuh diuji dengan beratnya ritual haji, begitu pula ketika hati diuji dengan beratnya membayar zakat dan mengurangi harta yang dicintai. Maka hal ini tidak diragukan lagi, bahwa pada bagian shalat yang demikian ini tidaklah benar sama sekali. Menggerakkan lidah dalam keadaan lengah sangat mudah bagi orang yang lalai dalam shalatnya, dan ini (mengigau) tidak termasuk bagian dari ujian dari sisi perbuatan, melainkan yang dimaksud adalah huruf-huruf yang diucapkannya (ketika shalat) itu bukanlah sekedar ucapan, melainkan wujud ungkapkan yang ada di dalam hati nurani, dan mereka (orang-orang yang lalai dalam shalatnya) mengungkapkannya tanpa kehadiran hati. (jika demikian) Lalu dimana permohonannya ketika ia mengucapkan: “Ihdinasshirȃthal mustaqîm (bimbinglah kami ke jalan yang lurus)’, sedangkan hatinya tengah lalai, dan jika ia tidak bermaksud menjadikan bacaan ini sebagai doa dan permohonan, lalu apa susahnya menggerakkan lidah dalam keadaan lalai, apalagi kalau sudah terbiasa. Ini adalah aturan dzikir, yakni bahwa dzikir itu harus menyertakan kehadiran hati (khusyu’) agar terhindar dari kelalaian.”

gambar ilustrasi.

Para mufassir mengatakan tentang arti kata “khusyu’”;

إِنَّ مَعْنَى الْخُشُوْعِ اَلْخَوْفُ الدَّائِمُ فِي الْقَلْبِ.

“Sesungguhnya makna khusyu’ itu ialah rasa takut yang terus menerus ada di dalam hati.”

Perlu kita pahami dengan penuh keyakinan bahwa pertama kali amal seorang hamba yang diperhatikan oleh Allah Ta’ala di hari kiamat nanti ialah shalatnya. Apabila dilihat oleh Allah Ta’ala pada shalat hamba-Nya itu sempurna, maka diterimalah shalatnya itu beserta seluruh amal ibadah yang lainnya, dan apabila dilihat pada shalat hamba-Nya itu kurang sempurna, maka tidaklah akan diterima shalatnya berikut seluruh amal ibadahnya. Mengapa demikian, tiada lain bahwa shalat yang sempurna itu akan berdampak pada cermin perilakunya sehari-hari, sehingga tampaklah pada diri hamba itu perilaku-perilaku terpuji, sehingga dari perilaku terpuji ini akan tampak pada amal ibadah lainnya. Allah Ta’ala berfirman;

ٱتۡلُ مَآ أُوحِيَ إِلَيۡكَ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَٰوةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَٰوةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ ۗ وَلَذِكۡرُ ٱللَّهِ أَكۡبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تَصۡنَعُونَ

Bacalah Kitab (Al-Qur`an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu (dapat) mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain), dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-‘Ankabut [29]: 45).

Rasulullah Saw telah bersabda;

أوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَلصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلُحَتْ صَلُحَ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ.

“Pertama kali yang dihisab pada diri seorang hamba di hari kiamat adalah shalatnya. Apabila baik shalatnya, maka baiklah seluruh amalnya, dan apabila rusak shalatnya, maka rusaklah seluruh amal ibadah lainnya[23].”

Dalam hadits yang lain telah diisyaratkan;

ِاَلصَّلَاةُ نُوْرُ الْمُؤْمِنِ.

“Shalat adalah cahaya orang mukmin[24].”

Bagi orang-orang mukmin yang menginginkan shalatnya sempurna, maka hendaknya memperhatikan betul dengan teliti ibadah shalatnya, mulai dari memasuki tempat shalat, hingga membaca salam saat mengakhiri shalatnya. Setelah seseorang menjalankan ketentuan pada tahapan pertama dalam ubudiyyah shalat, yakni terpenuhinya amaliyah syari’at dalam shalat, maka pada tahapan berikutnya hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam memahami bahwa shalat tidak hanya dilakukan sebatas aktifitas hissiyah (panca indera) atau gerak anggota tubuh dan bacaan-bacaan, melainkan haruslah difahami bahwa gerakan maupun bacaan itu merupakan bagian dari tata cara untuk menuntun hati agar bisa bertawajjuh atau menghadap ke hadirat Allah Ta’ala, sehingga dapat melahirkan kekhusyu’an dalam ibadah shalatnya. Apabila ia serius dan bersungguh-sungguh memahami ibadah yang dijalaninya, maka Allah Ta’ala akan membukakan jalan petunjuk baginya, sehingga hasil yang akan diperoleh dari mujahadahnya dalam beribadah kepada Allah Ta’ala menjadikan sempurnanya penghambaan kepada-Nya. Allah Ta’ala telah berfirman;

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan Tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik. (Qs. Al-‘Ankabut [29]: 69).

Oleh karenanya, As-Sarraj Ath-Thusi memberikan tips agar bagaimana seorang mushalli itu sebelum memasuki tempat shalatnya memperhatikan keadaan bathinnya dengan seksama sebagai bentuk tata kramanya sebelum melakukan shalat[25]:

مِنْ أَدَبِهِمْ قَبْلَ الصَّلَاةِ: اَلْمُرَاقَبَةُ وَمُرَاعَاةُ الْقَلْبِ مِنَ الْخَوَاطِرِ وَالْعَوَارِضِ، وَنَفْيُ كُلِّ شَيْءٍ غَيْرَ اللهِ تَعَالَى. فَإِذَا قَامُوْا إِلَى الصَّلَاةِ بِحُضُوْرِ الْقَلْبِ، فَكَأَنَّهُمْ قَامُوْا مِنَ الصَّلَاةِ إِلَى الصَّلَاةِ، فَيَبْكُوْنَ مَعَ النَّفْسِ وَالْعَقْلِ اَللَّذَيْنِ دَخَلُوْا فِي الصَّلَاةِ بِهِمَا، فَإِذَا خَرَجُوْا مِنَ الصَّلَاةِ رَجَعُوْا إِلَى حَالِهِ مِنْ حُضُوْرِ الْقَلْبِ. فَكَأَنَّهُمْ أَبَدًا فِي الصَّلَاةِ، فَهٰذَا هُوَ أَدَبُ الصَّلَاةِ.

“Sebagian dari adab yang harus mereka perhatikan sebelum shalat adalah; muraqabah (yakni merasa diawasi terus menerus oleh Allah Ta’ala) dan memperhatikan hati dengan teliti dari setiap bersitan-bersitan dan hal-hal yang memunculkan penentangan dalam hati, dan hendaknya di dalam hatinya meniadakan segala sesuatu selain Allah Ta’ala. Jika mereka mendirikan shalat dengan hadirnya hati, maka mereka seolah-olah bangkit dari satu shalat ke shalat yang lainnya, dan hendaknya mereka meratap bersamaan dengan hadirnya nafsu dan pikiran mereka di dalam shalat, dan ketika mereka meninggalkan shalat, hendaknya mereka tetap kembali pada keadaan hadirnya hati, yang seolah-olah mereka shalat selama-lamnya. Maka beginilah tata krama shalat itu.”

Telah diriwayatkan hadits[26] dari Abdullah bin Abbas ra:

قَالَ رَسُوْلُ صلى الله عليه وسلم: لَمَّا خَلَقَ اللهُ تَعَالَى جَنَّةَ عَدْنٍ وَخَلَقَ فِيْهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ قَالَ لَهَا: تَكَلَّمِي، فَقَالَتْ: قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُوْنَ (ثَلَاثًا)

“Rasulullah Saw bersabda; “Ketika Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa menciptakan surga ‘Aden dan menciptakan di dalamnya apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak sekalipun terbersit oleh hati manusia, maka Allah Ta’ala berkata kepada surga ‘Aden: “Bicaralah..”, dan surga ‘Aden mengatakan (sebanyak tiga kali): “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yang khusyu` dalam shalat mereka.”

gambar ilustrasi.

As-Suhrawardi[27] pada kitabnya mengatakan bahwa pada lafadz “اَلصَّلَاةُ” ini apabila ditinjau dari segi bahasa berasal dari kata; “اَلصَّلَى”, yang berarti api (اَلنَّارُ), dan kayu yang bengkok (اَلْحَشَبَةُ الْمُعْوَجَّةُ)[28].

Dengan demikian, jika seseorang itu ingin meluruskan kayu yang bengkok, hendaknya memanaskan atau memanggangnya terlebih dahulu dengan api, baru kemudian menjadi luruslah kayu itu. Akan halnya pada diri seorang hamba itu dijumpai adanya kebengkokan karena adanya nafsu amarah yang selalu mendorong untuk berbuat kejahatan. Maka tidak ada cara lain bagi seorang hamba selain dengan menghadapkan dirinya kepada keagungan Dzat-nya Allah Ta’ala, sehingga andaikan penyimpangan pada nafsunya ini telah dapat dihilangkan, maka terbukalah hijab bathiniyahnya, sehingga jadilah ia terbakar karenanya. Demikian pula, orang yang shalat itu seperti halnya orang yang diselubungi api, maka siapa saja yang membakar dirinya dengan api shalat bertujuan untuk menghilangkan ketercelaan nafsunya, maka dia tidak akan tersentuh api neraka[29]. Pada sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah ra disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صلى الله عليه وسلم: يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِيْ نِصْفَيْنِ؛ فَإِذَا قَالَ اَلْعَبْدُ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: مَجَّدَنِي عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ: اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ: قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِی عَبْدِی، فَإِذَا قَالَ: اَلرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِى، فَإِذَا قَالَ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ، قَالَ: فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِى. فَإِذَا قَالَ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ: قَالَ: هٰذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِى، فَإِذَا قَالَ: اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّآلِّيْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: هٰذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ.

Rasulullah Saw bersabda; “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Aku telah membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, yakni; Jika seorang hamba berkata (membaca dalam shalatnya): Bismillȃhirrahmȃnirrahîm. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Hamba-Ku memuliakan Aku”. Jika dia berkata: Alhamdulillȃhi rabbil ‘ȃlamîn. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Jika dia berkata: Arrahmȃnirrahîm, maka Allah Ta’ala berfirman: “Hamba-Ku telah mengagungkan Aku”, dan jika dia berkata: Mȃliki yaumiddîn, maka Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah menyerahkan (segala urusannya) kepada-Ku.” Jika dia berkata: Iyyȃka na’budu wa iyyȃka nasta’în.” Maka Allah Ta’ala berfirman: “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku”, jika dia berkata (membaca): “Ihdinas shirȃthal mustaqîm, shirȃthalladzhîna an’amta ‘alaihim ghairil maghdhūbi ‘alaihim waladdhȃllîn”. Maka Allah Ta’ala berfirman; “Ini Aku berikan pada hamba-Ku sesuai yang ia minta pada-Ku.”

Tentang shalat yang khusyu’ ini, banyak kita jumpai dari perkataan para ulama salaf pada masa dahulu. Di antaranya apa yang telah dikatakan oleh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri[30], salah seorang di antara pembesarnya generasi tabi’in yang agung. Ia pernah mengatakan, sebagaimana diriwayatkan Abu Thalib Al-Makki pada kitabnya[31]:

مَنْ لَمْ يَخْشَعْ فَسَدَتْ صَلَاتُهُ.

“Siapa yang tidak khusyu’, maka rusaklah shalatnya.”

Al-Hasan Al-Bashri[32] mengatakan[33]:

كُلُّ صَلَاةٍ لَا يَحْضُرُ فِيْهَا الْقَلْبُ، فَهِيَ إِلَى الْعُقُوْبَةِ أَسْرَعُ.

“Setiap shalat yang dikerjakan tanpa menghadirkan hati, maka ia cepat sekali mendapatkan hukuman (siksaan).”

Mu’adz bin Jabal ra mengatakan[34]:

مَنْ عَرَفَ مَنْ عَلَى يَمِيْنِهِ وَشِمَالِهِ مُتَعَمِّدًا وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ، فَلَا صَلَاةَ لَهُ.

“Barang siapa yang mengenali siapa orang di sebelah kanan dan kirinya dengan sengaja, sedangkan ia dalam keadaan shalat, maka ia tidak dianggap shalat.”

Abu Thalib Al-Makki mengatakan bahwa siapa saja yang menghadapkan shalatnya, maka hendaknya berusaha tidak mengenali siapa orang yang berada di sebelah kanan kirinya, sebab ini termasuk bagian dari bagusnya adab ketika berdiri, dan inilah yang diisyaratkan melalui firman-Nya:

ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ

(yaitu) orang yang khusyu’ dalam shalatnya, (Qs. Al-Mu`minun [23]: 2).

Telah diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair[35], murid dari Ibnu Abbas ra, bahwa ia telah mengatakan:

مَا عَرَفْتُ مَنْ عَنْ يَمِيْنِى وَلَا عَنْ شِمَالِى فِي الصَّلَاةِ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، مُنْذُ سَمِعْتُ إِبْنَ عَبَّاسٍ يَقُوْلُ: اَلْخُشُوْعُ فِي الصَّلَاةِ أَنْ لَا يَعْرِفَ الْمُصَلِّى مَنْ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ.

“Aku tidak pernah tahu orang di sebelah kananku, dan tidak pula sebelah kiriku di dalam shalatku sejak empat puluh tahun lamanya, yakni sejak aku mendengar Ibnu Abbas ra (guruku) mengatakan; “Khusyu’ di dalam shalat itu ialah, hendaknya orang yang shalat itu tidak mengenali siapa orang yang ada di samping kanannya, dan tidak pula orang yang ada di samping kirinya.”

Abu Hafs bin Umar As-Suhrawardi mencantumkan dalam kitabnya keterangan dari sebagian ulama yang mengatakan[36];

لِلصَّلَاةِ أَرْبَعُ شُعْبٍ: حُضُوْرُ الْقَلْبِ فِي الْمِحْرَابِ، وَشُهُوْدُ الْعَقْلِ عِنْدَ الْمَلِكِ الْوَهَّابِ، وَخُشُوْعُ الْقَلْبِ بِلَا ارْتِيَابٍ، وَخُضُوْعُ الْأَرْكَانِ بِلَا ارْتِقَابٍ؛ لِأَنَّ عِنْدَ حُضُوْرِ الْقَلْبِ رَفْعَ الْحِـجَابِ، وَعِنْدَ شُهُوْدِ الْعَقْلِ رَفْعَ الْعِتَابِ، وَعِنْدَ حُضُوْرِ النَّفْسِ فَتْحَ الْأَبْـوَابِ، وَعِنْدَ خُضُوْعِ الْأَرْكَانِ وُجُوْدَ الثَّوَابِ، فَمَنْ أَتَى الصَّلَاةَ بِلَا حُضُوْرِ الْقَلْبِ فَهُوَ مُصَلٍّ لَاهٍ، وَمَنْ أَتَـاهَا بِلَا شُهُوْدِ الْعَقْلِ فَهُوَ مُصَلٍّ سَـاهٍ، وَمَنْ أَتَـاهَا بِلَا خُضُوْعِ النَّفْسِ فَهُوَ مُصَلٍّ خَـاطِىءٌ، وَمَنْ أَتَاهَا بِلَا خُشُوْعِ الْأَرْكَانِ فَهُوَ مُصَلٍّ جَـافٍ، وَمَنْ أَتَـاهَا كَمَا وَصَفَ فَهُوَ مُصَـلٍّ وَافٍ.

“Shalat itu memiliki empat cabang; (pertama) kehadiran hati di mihrab, (kedua) kesaksian akal di hadapan Raja Yang Maha Pemurah (Allah Ta’ala), (ketiga) penghormatan hati tanpa keraguan, dan (keempat) penyerahan diri anggota tubuh tanpa rasa takut. Karena ketika shalat dilakukan dengan hadirnya hati, maka selubung penghalang bathin terangkat, dan ketika akal menyaksikan, maka kesalahan (dosa) terhapus, dan ketika jiwa hadir, maka pintu-pintu (bathiniyah) terbuka, dan ketika semua anggota tubuh telah diserahkan (pasrah), maka tampaklah pahala. Maka siapa pun yang melakukan shalat tanpa kerendahan hati, maka ia orang yang shalat dengan kehampaan, dan siapa pun yang melakukan shalat tanpa pikirannya ikut menyaksikan, maka ia orang yang shalat dengan kelalaian, dan siapa pun yang shalat tanpa adanya kepasrahan diri, maka ia orang yang salah dalam shalatnya, dan siapa pun yang shalat tanpa ketenangan anggota tubuhnya, maka ia orang yang shalat dengan perilaku yang kasar, dan siapa pun yang melakukan shalat sebagaimana yang disifatkan ini, maka dialah orang yang shalat dengan sempurna (baik secara dzahir maupun bathinnya).”

Para ulama sangat menekankan pentingnya shalat dengan khusyu’, pentingnya menghadirkan hati ke hadirat Ilahi di dalam shalat, dan oleh karenanya, Al-Ghazali menjelaskan pada kitabnya, bahwa siapa yang telah mengerti sirri (rahasia)-nya shalat (sebagaimana dijelaskan pada bab-bab sebelumnya), maka ia akan mengerti bahwa kelalaian dalam shalat adalah berlawanan dari tujuan shalat itu sendiri, dan adab yang rendah di dalam shalat dapat mencegah dari kekhusyu’an hati, dan dapat mencegah pula dari terbukanya rahasia-rahasia ibadah yang diperintahkan oleh aturan syari’at. Sehingga, Al-Ghazali sampai pada satu kesimpulan[37] sebagaimana yang ia katakan;

أَنَّ حُضُوْرَ الْقَلْبِ هُوَ رُوْحُ الصَّلَاةِ، وَأَنَّ أَقَلَّ مَــا يَبْقَى بِهِ رَمْقُ الرُّوْحِ الْحُضُـوْرُ عِنْدَ التَّكْبِيْرِ، فَالنُّقْصَانُ مِنْـهُ هَلَاكٌ، وَبِقَدْرِ الزِّيَـادَةِ عَلَيْهِ تَنْبَسِطُ الرُّوْحُ فِي أَجْـزَاءِ الصَّلَاةِ، وَكَمْ مِـنْ حَيٍّ لَا حَـرَاكَ بِهِ قَرِيْبٌ مِــنْ مَیِّتٍ، فَصَلَاتُ الْغَــافِلِ فِي جَمِيْعِهَا إِلَّا عِنْدَ التَّكْبِيْرِ كَحَيٍّ لَا حَــرَاكَ بِهِ، نَسْأَلُ اللهَ حُسْنَ الْعَوْنِ.

“Kehadiran hati merupakan ruhnya shalat, setidaknya, minimal hadirkan hati ketika takbiratul ihram, kurang dari itu adalah kerugian besar (kehancuran), dan lebih banyak dari itu ruh akan menyebar di setiap bagian-bagian shalat. Berapa banyak orang hidup yang tidak bergerak, yang lebih mendekati (mirip dengan) mayat. Maka dengan demikian, shalatnya orang yang lalai, secara keseluruhan, kecuali saat takbiratul ihram, seperti orang hidup yang tidak bisa bergerak sama sekali, (na’udzubillahi min dzalik), kita memohon kepada Allah dengan sebaik-baik pertolongan (agar dihindarkan dari kelalaian di dalam shalat).”

Oleh sebab itu, disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah Saw memohon kepada Allah agar diberi hati yang khusyu’, sekalipun beliau terjamin dengan terjaganya dari kelalaian dan dosa-dosa. Akan tetapi, tiada lain ditujukan agar kita selaku umatnya ikut serta pula mengamalkannya sebagai bentuk itba’ kepada beliau Rasulullah Saw. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra;

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ I يَقُوْلُ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: أَللهم إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْأَرْبَعِ: مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ. رواه النّسائى

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia mengatakan; “Adalah Rasulullah Saw berdoa; “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari empat perkara: dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tak pernah puas, dan dari doa yang tak didengar (oleh-Mu).” (HR. An-Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)[38].

Demikianlah pengertian makna khusyu’ menurut hujjah para salafusshalih beserta para ulama lainnya.

Wallahu A’lamu Bisshawab.

Danny Himawan Ma’shum, Sidoarjo, Rabu 10 Rajab 1444 H / 1 Pebruari 2023 M.

Penulis.

Referensi Kitab:

[1] Namanya ialah Ahmad bin Faris bin Zakariya, Al-Lughawi, seorang ulama yang pakar dalam bidang keilmuan yang kompleks sekali, semisal sastra bahasa, gramatika bahasa, tafsir, fiqih, sejarah, dan sebagianya, yang wafat tahun 395 H. Ia berasal dari Qazwin yang selanjutnya menetap di Ray-Iran. Pada mulanya ia bermadzhab Syafi’i, namun kemudian beralih ke madzhab Maliki. Ibnu Faris memiliki banyak karya tulis berupa kitab yang jarang sekali kemahirannya ini dimiliki oleh ulama lainnya, di antaranya ialah; Jȃmi’ At-Ta`wîl Fî Tafsir Al-Qur`an, Sîrah An-Nabi Saw, Akhlȃq An-Nabi Saw, Al-Mujmal (yakni sebuah kitab tentang bahasa), Fiqh Al-Lughat, Gharîb I’rab Al-Qur`an, Dȃrat Al-‘Arab, Al-Lail Wa An-Nahȃr, Asy-Syayyȃt Wa Al-Hilȃ, Al-Ghamm Wa Al-Hȃl, Khalq Al-Insȃn, Maqȃyis Al-Lughȃt, yang oleh Yaqut Al-Hamawi dikatakan sebagai kitab yang agung yang tak seorang pun sanggup menyusun seperti dirinya, Kifȃyah Al-Muta’allimîn Fî Ikhtilȃf An-Nahwiyyîn, Dakhȃ`ir Al-Kalimȃt, Al-Humasah Al-Muhdatsah, Hilyah Al-Fuqahȃ`, serta kitab yang khusus membahas tentang redaksi Al-Wujūh Wa An-Nadzhȃ`ir berjudul “Afrȃd kalimat Al-Qur`an Al-‘Aziz”, dan kitabnya ini telah kami (penulis) terjemahkan berikut tahqiq dengan pertolongan Allah Ta’ala. Dua hari sebelum kewafatannya, Ibnu Faris menguntai dua bait syairnya yang berbunyi;

يَا رَبِّى إِنَّ ذُنُوْبِى قَدْ أَحَطَّتْ بِهَا    عِلْمًا بِى وَبِإِعْـلَانِىْ وَبِإِسْرَارِىْ

أَنَا اَلْمُوَحّـِــدُ لَكُنَّي اَلْمُقِــرُّ بِهَا    فَهَبْ ذُنُوْبِى لِتَوْحِيْدِىْ وَإِقْرَارِىْ

“Duhai Tuhanku, seseungguhnya dosa-dosaku telah meliputi ilmuku, meliputi yang tampak dari perbuatanku, maupun yang tersembunyikan olehku. Aku seorang yang meng-Esakan-Mu, oleh sebab itu aku dijuluki dengan (gelar) itu, maka ampunilah dosa-dosaku dengan karunia-Mu sebab ketauhidanku dan pengakuanku.”

Lihat biografinya pada: Adz-Dzahabi, Siyaru A’lȃm An-Nubalȃ`: 1/878, No. 556, Jalaluddin As-Suyuthi, Thabaqȃt Al-Mufassirîn, hal. 27-28, No. 6, dan Yaqut Al-Hamawi, Mu’jam Al-Udabȃ`, Irsyȃd Al-Arîb Ilȃ Ma’rifati Al-Adîb: 1/410-418, No. 310.

[2] Ibnu Rajab, Adz-Dzullu Wa Al-Inkisȃr, hal. 7.

[3] Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Al-Hasan bin Duraid, lahir tahun 223 H, dan wafat pada tahun 321 H. Leluhurnya berasal dari Bani Al-Azdi, Yaman, yang kemudian menetap di Amman (Yordania), sedangkan nama “Duraid (دُرَيْد)” merupakan bentuk tashghir dari kata “Adrad (أَدْرَدْ)”. Ia memiliki beberapa karya tulis yang sangat penting, yang di antaranya ialah; Jamharat Al-Lughȃt, Al-Isytiqȃq, Al-Fawȃ`id Wa Al-Akhbȃr, Kitab Al-Malȃhîn, Syarah Al-Maqshūr Wa Al-Mamdūd, dan Amȃli Ibnu Duraid. Lihat biografinya pada muqaddimah kitab Al-Isytiqaq.

[4] Ibnu Duraid, Jamharat Al-Lughȃt: 1/601.

[5] Ar-Raghib Al-Ashfihani, Al-Mufrȃdȃt Fi Gharîbi Al-Qur`an: 1/197.

[6] Abu Hilal Al-‘Askari, Al-Furūq Al-Lughawiyyah, hal. 278, No. 719, bab ke-20; al-farqu bainal khusyū’i wal khudhū’i.

[7] Qs. Thaha [20]: 108.

[8] Qs. Asy-Syu’ara` [26]: 4.

[9] Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Madȃrij As-Sȃlikîn: 1/424, Ibnu Rajab Al-Hanbali, Adz-Dzullu Wa Al-Inkisȃr, hal. 8, dan Sahl bin Abdullah Al-Tustari, Tafsir Al-Tustarî, hal. 109.

[10] Al-Harawi, Manȃzilus Sȃ`irîn, hal. 28, bab; Al-Khusyu’, No. 14.

[11] Ibnu Rajab Al-Hanbali, Adz-Dzullu Wa Al-Inkisȃr, hal. 8.

[12] Al-Ghazali mendefinisikan pengertian yang sama pada kitabnya, Muskȃsyafah Al-Qulūb, hal 45.

[13] Ibnu Al-Qayyim, Madȃrij As-Sȃlikîn: 1/424.

[14] Al-Harawi, Manȃzilus Sȃ`irîn, hal. 28-29.

[15] Qs. Ar-Rahman [55]: 46.

[16] Qs. An-Nazi’at [79]: 40.

[17] Salik, menurut Ibnu Arabi ialah (Lihat: Kitab Ishthilȃhat Ash-Shūfiyyah (Rasȃ`il Ibni ‘Arabi), hal. 407);

هُوَ الَّذِي مَشَى عَلَى الْمَقَامَاتِ بِحَالِهِ لَا بِعِلْمِهِ فَكَانَ الْعِلْمُ لَهُ عَيْنًا.

“Salik adalah orang yang menempuh perjalanan menuju maqamat (kududukan mulia di sisi Allah Ta’ala) dengan amaliyah bathinnya, bukan dengan ilmunya. Akan halnya ilmu menjadi mata (penunjuk jalan) baginya.”

[18] Yakni tidak menampakkan keistimewaan dirinya, atau kelebihan ubudiyyahnya di hadapan orang lain, sehingga membuat orang lain takjub, dan pengertian ini, yakni menampakkan kemiskinan, dapat pula diartikan menutupi jati dirinya agar tidak dianggap sebagai orang yang layak mendapatkan sanjungan dan pujian, sehingga sampai tiba pada waktunya Allah Ta’ala sendiri yang memunculkan dan memasyhurkannya di hadapan khalayak umum.

[19] Yang dimaksud dari pengertian ini ialah, kedudukannya sebagai seorang muslim yang masih bersifat umum dari hamba-hamba-Nya, yang menjalankan perintah ubudiyyah berdasarkan tuntutan syari’at, sehingga sampai pada tahapan dimana ia dipanggil dengan sebutan mukmin karena keimanannya yang benar, dipanggil dengan gelar mukhlis (orang yang ikhlas) karena keikhlasannya dalam beribadah, dipanggil dengan gelar muttaqin karena ketaqwaannya, digelari shalihin (orang-orang yang shalih), shiddiqin (orang-orang yang jujur dalam mengabdi kepada Allah Ta’ala), muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah), dan gelar-gelar mulia lainnya, sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan di dalam Al-Qur`an mengenai gelar-gelar khusus bagi hamba-hamba-Nya yang telah sampai pada kedudukan-kedudukan ubudiyyah. Wallahu a’lamu bisshawab.

[20] Yakni semua kebaikan maupun keutamaan dan kelebihan yang ada pada diri kita tiada lain hanyalah pemberian dari Allah Ta’ala, bukan sebab usaha yang kita lakukan. Sebab jika kelebihan dan keutamaan itu disandarkan pada usaha atau hasil dari kerja keras, maka dari mana datangnya pengetahuan, kekuatan, dan cara untuk meraihnya? Tiada lain dari Allah Ta’ala saja datangnya, Allah yang menggerakkan manusia untuk mencari cara, memperoleh pengetahuan dan memberi kekuatan sehingga mendapatkan keutamaan tersebut. Hal ini diisyaratkan melalui ayat-Nya;

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ..

“Kebajikan apapun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah, dan keburukan apapun yang menimpamu, itu (kesalahan) dari dirimu sendiri..”, (Qs. An-Nisa` [4]: 79).

[21] As-Sayyid Murtadha Az-Zabidi, Ithȃf As-Sȃdah Al-Muttaqîn Bi Syarhi Ihyȃ` Ulūmiddîn: 3/172.

[22] Ibnu Al-Qayyim, Asrȃr Ash-Shalȃh, hal. 32-33. Pentahqiq kitab Ibnu Al-Qayyim ini mengatakan bahwa atsar ini tidak ditemukan isnadnya, sebab demikian yang tercantum pada kitab-kitab lainnya disertakan tanpa sanad, dan semua mengatakan; “dalam hadits qudsi disebutkan..”. Kemungkinan atsar yang diriwayatkan dari kisah-kisah kaum Bani Isra`il.

[23] Hadits ini memiliki beberapa versi jalur riwayat terkait redaksi. Lihat: Al-Mundziri, At-Targhîb Wa At-Tarhîb: 1/189, Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Ausath: 2/240, Al-Haitsami, Majmȃ’ Az-Zawȃ`id Wa Manba’ Al-Fawȃ`id: 1/296, dan Al-Qudha’i, Musnad Asy-Syihȃb, 2/154, hadits No. 146, dengan sedikit perbedaan redaksi.

[24] Lihat: Al-Qudha’i, Musnad Asy-Syihȃb: 2/117-118, hadits No. 144, dan Abi Ya’la Al-Maushili, Musnad Abi Ya’lȃ: 1/173.

[25] As-Suhrawardi, ‘Awȃrif Al-Ma’ȃrif: 2/136.

[26] Lihat: As-Suyuthi, Al-Jȃmi’ Ash-Shaghîr Fî Ahȃdits Al-Basyîr Wa An-Nadzîr: 2/452, hadits No. 7373, Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabîr: 11/184, hadits No. 11439, Al-Mu’jam Al-Ausath: 1/224, hadits No. 738, dan Abu Nu’aim, Shifat Al-Jannah, hal. 41-42. Tentang hadits ini Ash-Shan’ani mengatakan pada kitabnya, At-Tanwîr Syarah Al-Jȃmi’ Ash-Shaghîr: 9/113, No. 7355, bahwa isnad hadist ini oleh As-Suyuthi dihukumi dha’if, akan tetapi Al-Hafidz Al-Mundziri dan Al-Haitsami mengatakan bahwa pada riwayat Ibnu Abbas ra ini memiliki dua jalur periwayatan yang pada salah satu dari isnad haditsnya dihukumi jayyid (bagus). Lihat penjelasan isnad hadits ini pada: Al-Mundziri, At-Targhîb Wa At-Tarhîb: 3/258, dan Al-Haitsami, Majma’ Az-Zawȃ`id Wa Manba’ Al-Fawȃ`id: 10/398.

[27] Ia adalah Al-Imam Al-‘Arifu Billah Syihabuddin Abi Hafs Umar bin Muhammad As-Suhrawardi, yang lahir di Suhraward pada bulan Rajab tahun 539 H, dan wafat pada tahun 632 H di kota Baghdad-Iraq. Beliau seorang Syaikhul Islam, ahli hadits, ahli zuhud, panutan, dan salah seorang pembesar ulama ahli tashawwuf. Silsilahnya bersambung hingga Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Pada mulanya, di Baghdad, ia belajar dan mendalami ilmu fiqih, adab, dan tashawwuf kepada pamannya, Asy-Syaikh Abu Najib As-Suhrawardi, dan sempat belajar dengan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani ra. Sedangkan di kota Bashrah ia belajar kepada Asy-Syaikh Abu Muhammad bin ‘Abd, dan belajar hadits kepada Asy-Syaikh Hibatullah bin Ahmad Asy-Syibli, dan nama terakhir ini merupakan maha guru bagi As-Suhrawardi. Berikutnya, ia belajar pula kepada Abi Al-Fath bin Al-Baththi, Khuzaifah bin Al-Hathiran, Abi Al-Futhuh Ath-Tha`i, Abi Zur’ah Al-Maqdisi, Ma’mar bin Al-Fakhir, Ahmad bin Al-Muqarrab, Yahya bin Tsabit, dan para tokoh ulama lainnya. Banyak di antara para murid yang meriwayatkan hadits dari As-Suhrawardi, yang di antaranya ialah; Ibnu Nuqthah, Ibnu Ad-Dubaitsi, Ibnu An-Najjar, Adh-Dhiya`, Al-Qushi, Ibnu An-Nablusi, Dzahiruddin Mahmud Az-Zanjati, Abu Al-Ghana`im bin ‘Allan, Abu Al-Faraj bin Zain, Abu Ishaq bin Al-Wasithi, dan sebagainya. Ibnu An-Najjar mengatakan, “Syihabuddin As-Suhrawardi adalah maha guru di zamannya dalam ilmu haqiqat, dan semua tarbiyah murid dalam menempuh jalan ketuhanan berpuncak pada dirinya,..”. Lihat biografi selengkapnya pada; Syamsuddin Adz-Dzahabi, Siyaru A’lȃm An-Nubalȃ`: 2/2925-2926, biografi No. 4283, huruf ‘ain (ع).

[28] Al-Mustaghanimi mengatakan bahwa lafadz “اَلصَّلَاةُ” dinukil dari kata “اَلصِّلَةُ (shilah=hubungan)”, dan makna dari “Shilah” ini ialah jalinan antara sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, sehingga tidak diragukan lagi bahwa shalat merupakan ikatan penghubung antara hamba dengan Tuhannya. Lihat: Al-Minah Al-Quddūsiyyah, hal. 92.

[29] As-Suhrawardi, ‘Awȃrifu Al-Ma’ȃrif: 2/119.

[30] Ia adalah Sufyan bin Sa’id bin Masruq bin Hamzah bin Habib bin Rafi’ bin Abdillah bin Mauhibah bin Ubay bin Abdullah bin Nashr bin Tsa’labah bin amir bin Milkan bin Tsaur, nasabnya bersambung hingga Adnan yang merupakan leluhur Rasulullah Saw, demikianlah catatan silsilah yang disebutkan Ibnu Abi Dunya dari Muhammad bin Khalaf At-Taimi. Sufyan Ats-Tsauri berasal dari Tsaur, Hamdan. Ia lahir pada tahun 96 H, dan wafat tahun 161 H. Sufyan Ats-Tsauri adalah seorang ulama besar yang sangat diagungkan oleh banyak ulama dan generasi di zamannya. Beliau seorang yang bergelar Syaikhul Islam (maha gurunya kaum muslimin), pemimpinnya para penghafal hadits di masanya, pemimpinnya para ulama yang ahli dalam mengamalkan ilmu, yang sampai pada level mujtahid, yakni orang yang memiliki kemampuan ijtihad sendiri dalam menggali hukum-hukum Islam. Sufyan Ats-Tsauri pertama kali belajar hadits dan menghafal kepada ayahnya sendiri, Sa’id bin Masruq Ats-Tsauri, seorang ahli hadits yang shadiq (jujur dalam periwayatan). Ayah Sufyan Ats-Tsauri merupakan teman dekat Asy-Sya’bi, Khaitsaman bin Abdirrahman, dan para perawi terpercaya dari golongan ulama hadits Kuffah beserta para tabi’in yunior di bawahnya. Sufyan Ats-Tsauri memiliki guru dalam periwayatan hadits sebanyak enam ratus guru, yang rata-rata kesemuanya meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Jarir bin Abdullah, Ibnu Abbas ra, dan lain sebagainya, dan ia membaca hadits-hadits yang dihafalnya di hadapan gurunya, Hamzah Az-Zayyat, sebanyak empat kali khataman. Jumlah muridnya tak terhitung banyaknya, yang hampir kesemuanya menjadi ulama besar dalam bidang hadits dan perawi-perawi hadits yang terpercaya. Lihat biografi selengkapnya pada: Adz-Dzahabi, Siyaru A’lȃm An-Nubalȃ`: 2/1836, biografi No. 2292, dan Abdul Ghani Ad-Duqr, Al-Imȃm Sufyȃn Ats-Tsauri Amîrul Mu`minîna Fi Al-Hadîts, No. 52.

[31] Abu Thalib Al-Makki, Qūt Al-Qulūb: 3/1206.

[32] Dialah Abu Sa’id Al-Hasan bin Abi Al-Hasan bin Yasar Al-Bashri, dari golongan pemimpin dan pembesar para tabi’in. Al-Hasan adalah imamnya penduduk Basrah dan pimpinan tertinggi umat di masanya. Petunjuknya kepada umat (laksana) petunjuk para Nabi, dan perkataannya serupa perkataan para Nabi. Ungkapan peribahasanya banyak sekali. Beliau wafat di Basrah pada tahun 110 H. Lihat biografinya pada: Al-Qasanthiny, Al-Wafiyat, hal. 109, Ibnu Katsir, Al-Bidȃyah Wa An-Nihȃyah: 5/9/301, Adz-Dzahabi, Mukhtashar Daulal Islȃm: 1/77, Ibnu Qutaibah, Kitȃb Al-Ma’ȃrif, hal. 440, Al-Mizi, Tahdzîb Al-Kamȃl: 4/297, biografi No. 1198, dan Al-Manawi, Al-Kawȃkib Ad-Durriyyah: 1/181.

[33] Ibid, dan Ihyȃ` Ulūmiddîn: 1/594.

[34] Abu Thalib Al-Makki, Qūt Al-Qulūb: 2/97. Perkataan sahabat Mu’adz bin Jabal ra ini telah diriwayatkan oleh Isma’il bin Abi Ziyad, dari Bisyir bin Al-Harits dan lainnya.

[35] Ia adalah Sa’id bin Jubair bin Hisyam Al-Asdi, yang wafat pada tahun 95 H. Nama panggilannya Abu Abdillah Al-Asdi Al-Walibi, seorang hamba sahaya Bani Walibah bin Al-Harits, dari Bani Asad bin Khuzaimah. Sa’id bin Jubair adalah seorang ulama besar, dalam bidang hadits ia sampai pada derajat Al-Hafidz, seorang mufassir, Al-Muqri`, dan Asy-Syahid. Ia pertama kali belajar Al-Qur`an kepada sahabat Abdullah Ibnu Abbas ra, kemudian kepada Abu ‘Amr bin Al-‘Alla`, dan lain sebagainya. Di antara para ulama yang meriwayatkan hadits-hadits darinya antara lain; Abu Shalih As-Samman, Adam bin Sulaiman Asy’ats bin Abi Asy-Sya’tsa`, Ayyub As-Sakhtiyani, Bukair bin Syihab, Tsabit bin ‘Ujlan, Abu Al-Miqdam Tsabit bin Hurmuz, Ja’far bin Abi Al-Mughirah, Abu Bisyr Ja’far bin Abi Wahsyiyyah, Habib bin Abi Tsabit, Habib bin Abi ‘Umrah, Hassan bin Abi Al-Asyras, Hushain, Al-Hakam, Sulaiman Al-A’masy, Hammad, Hushaif Al-Jazari, Dzarrin Al-Hamadzani, Simak bin Harb, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dikisahkan oleh Dhlamrah bin Rabi’ah dari Ashbagh bin Zaid yang mengatakan bahwa Sa’id bin Jubair mempunyai seekor ayam jago yang biasa berkokok di malam hari. Hingga suatu malam ayam jago miliknya tidak berkokok sebagaimana biasanya hingga waktu pun menjelang pagi, sehingga di malam itu Sa’id bin Jubair tidak bisa melakukan shalat malam karena tiada suara kokok ayam jagonya. Sa’id bin Jubair pun dongkol hatinya sebab melewati malam tanpa melakukan shalat malam seperti biasanya, sehingga ia berkata; “Ada apa dengan ayam jago itu? Semoga Allah memutus suaranya.” Maka semenjak itu tidak terdengan lagi suara kokok ayam jagonya, dan ibunya berkata kepada Sa’id, “ Wahai anakku, jangan mendoakan yang jelek bagi sesuatu apapun setelah ini.” Telah dikisahkan tentang kematiannya. Sa’id bin Jubair wafat dengan dipenggal kepalanya oleh Al-Hajjaj, dan sebelum detik-detik kewafatannya, Sa’id bin Jubair didatangkan ke hadapan Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, seorang penguasa tirani saat itu. Al-Hajjaj berkata; “Siapa namamu?”, “Sa’id bin Jubair,” jawabnya. “Bukan, tapi namamu Syaqi bin Kusair (orang yang celaka anaknya si patah). Aku akan membunuhmu!” maka dijawab oleh Sa’id, “Aku sebagaimana ibuku menamakanku. Maka izinkan aku shalat dua rakaat sebelum kau bunuh,” jawab Sa’id dengan tenang. Maka marahlah Al-Hajjaj; “Palingkan wajahnya ke arah kiblatnya orang-orang Nashrani..!!” maka Sa’id bin Jubair menjawab dengan mengutip ayat;

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ.

“Kemanapun kamu menghadap, di sanalah wajah (arah menghadap) Allah.”

Ibnu Uyainah meriwayatkan dari Salim, lalu ia (Shufyan bin Uyainah) mengatakan; “Tidak terbunuh setelah kematian Sa’id bin Jubair melainkan hanya seorang saja.” Diriwayatkan bahwa hari dimana setelah terbunuhnya sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib ra, Sa’id bin Jubair tidak henti-hentinya membaca Al-Qur`an selama dua hari dua malam, kecuali saat bepergian atau sakit. Beliau selalu mengkhatamkan Al-Qur`an tiap dua malam sekali. Lihat biografinya pada: Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqȃt Al-Kabîr: 8/374-385, biografi No. 3144, dan Adz-Dzahabi, Siyaru A’lȃm An-Nubalȃ`: 2/1795-1801, biografi No. 2234.

[36] As-Suhrawardi, ‘Awȃrif Al-Ma’ȃrif, hal. 190, dan sepertinya pernyataan ini merujuk pada keterangan As-Sarraj Ath-Thusi pada kitabnya, Al-Luma’, hal. 147.

[37] Ihyȃ` Ulūmiddîn: 1/598-597.

[38] lihat: An-Nasa`i, Sunan Al-Mujtabȃ, hal. 555, hadits No. 5467, Abu Dawud, Sunan Abi Dȃwūd: 1/452, hadits No. 1548, Ibnu Majah, Sunan Ibni Mȃjah, hal. 92, hadits No. 250, dan Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad: 5/740, hadits No. 14034. Muslim meriwayatkan dengan redaksi yang panjang dari jalur Zaid bin Arqam ra, lihat: Shahîh Muslim, hal. 1457, hadits No. 2722.

Facebook
Twitter
LinkedIn

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page

X